Hubungan batin Kiai Zubair dengan santri-santrinya terus terjalin, kendati si santri telah merantau ke negeri seberang. Terkadang, saking dekatnya, Kiai Zubair sering mendapat firasat tentang keadaan mereka.
Di kala begitu banyak orang menyebut diri seorang pendidik dan pembela hak-hak anak, termasuk hak pendidikan, seorang kiai justru berkarya dalam diam. Ia memberikan kepada santri-santrinya tidak hanya ilmu, waktu, dan tenaga, melainkan juga cinta yang begitu besar.
Di kala begitu banyak orang yang mengaku dirinya pejuang hak-hak anak, mendiskusikan, membicarakan, dan melakukan pelatihan tentang hak anak, sang kiai telah memberikan pemenuhan semua hak tersebut kepada santri-santrinya.
Di kala begitu banyak orang yang mengaku diri pejuang pendidikan anak, berlomba-lomba mengejar begitu banyak penghargaan, melalui tulisan, melalui kata-kata, sang kiai dengan rendah hati menyatakan dirinya hanya seorang hamba Allah yang tidak mempunyai kelebihan dan bukan dia yang pintar tetapi yang pintar adalah santri-santrinya.
Bagi seorang pengasuh santri, penghargaan yang sebenarnya adalah keberhasilan anak-anak didiknya. Bahkan cintanya tidak hanya kepada santri yang masih jadi anak asuhnya, melainkan juga alumninya. Inilah yang terekam saat alKisah berjumpa kiai khos Madura yang mempunyai ribuan santri dan ratusan alumnus, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Cholil, Demangan Barat, Bangkalan, K.H. Zubair Muntashor.
Dulu Agak Mbeling
Kiai Zubair adalah putra pasangan K.H. Muntashor, pendiri Pesantren Nurul Kholil, dan Nyai Nazhifah binti K.H. Imron bin K.H. Muhammad Cholil – yang lebih akrab dengan panggilan Kiai Cholil Bangkalan atau Syaichona Cholil Bangkalan. Jadi, Kiai Zubair adalah cicit Syaichona Cholil.
Menurut cerita salah seorang santrinya, dulu Ibu Nyai Nazhifah lama tidak mempunyai keturunan. Maka, suatu ketika, Kiai Muntashor bermunajat di Makkah. Ketika itulah, Kiai Muntashor mendapat sebutir gabah, yang kemudian diberikan kepada Ibu Nyai.
Alhamdulillah, tak berapa lama, munajat Kiai Muntashor diijabah Allah. Ibu Nyai mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Anak itu pun diberi nama Zubair.
Zubair kecil diasuh dan dididik langsung oleh ayahnya, yang juga salah seorang kiai terpandang di kawasan Bangkalan, dalam lingkungan keagamaan yang kuat. Hingga saat berusia belasan, ia dikirim untuk belajar di Pondok Pesantren Sidogiri.
Di pesantren tua ini, ia menghabiskan masa belajar selama tujuh tahun. “Saya mondok selama tujuh tahun. Tapi dulu saya agak mbeling, nakal,” kata Kiai Zubair suatu ketika. Semangat belajarnya saat itu memang tidak menggebu-gebu.
Namun ketika ayahandanya wafat, Kiai Zubair tersentak, dan menyadari bahwa dialah generasi penerus satu-satu ayahnya, karena ia anak semata wayang, yang harus melanjutkan estafet dakwah sang ayah, yang juga harus mengasuh ratusan santri di pesantren peninggalan ayahnya, Pondok Pesantren Nurul Cholil.
Ia bingung, karena belum siap, terutama dari sisi ilmu. Maka, dengan semangat membara, yang dilandasi keikhlasan karena Allah, ia pun berusaha keras belajar dengan cara sorogan kepada beberapa kiai di Madura.
“Saya berusaha dengan ikhlas untuk belajar. Saya tidak ingin pondok peninggalan ayah mati begitu saja,” katanya.
Menurut salah seorang santrinya, setelah sang ayah wafat sekitar tahun 1978, ia berusaha keras untuk belajar mendalami ilmu agama. Namun, di samping usaha yang keras itu, ia juga mendapat anugerah berupa ilmu laduni. Karena itu, tak mengherankan bila di usia yang terhitung muda, sekitar 30 tahun, Kiai Zubair sudah bisa merangkul jama’ah majelis ta’lim peninggalan ayahnya, yang di antara mereka ada kiai sepuh dan ustadz.
Sementara Pesantren Nurul Kholil dalam asuhannya pun berkembang sangat pesat. Tidak saja dari segi infrastruktur pesantren dan jumlah santri, tapi juga kualitas keilmuan santrinya, yang tak kalah dibanding dengan pesantren lainnya.
“Alhamdulillah bisa berjalan lancar, berkat doa mbah-mbah saya dan pertolongan Allah Ta’ala,” kata Kiai Zubair saat ditanya mengenai keberhasilannya dalam mengelola pesantren. Perhatiannya terhadap santri juga sangat besar. Walau para pengurus dan guru telah senantiasa mengontrol santri-santri, Kiai Zubair secara rutin berkeliling melihat keadaan ribuan santrinya itu secara langsung.
Delapan Jam Madura-Jakarta
Banyak kisah unik mengenai dirinya dengan santri-santrinya. Pernah suatu ketika, tahun 1998, salah seorang santrinya diperintahkan untuk ke Jakarta, tepatnya ke Kramat Sentiong, Jakarta Pusat, menggunakan mobil carry, dalam waktu 10 jam. Si santri tentu heran. Mana mungkin Madura-Jakarta ditempuh dalam waktu 10 jam?
Tetapi Kiai Zubair memaksa, bahkan memarahi si santri. Maka, dengan membaca bimillah, akhirnya si santri berangkat juga. Ajaib, waktu yang ditempuh hanya delapan jam.
Setelah kembali ke Madura, si santri diberi tahu oleh kakak sepupu Kiai Zubair, (almarhum) K.H. Abdullah Schall. “Jangan heran, itu adalah ilmu orangtua Kiai Zubair yang diberikan kepada Kiai Zubair,” katanya. Dalam menguji santrinya, Kiai Zubair juga terkenal unik. Ia sering meminta sesuatu kepada santrinya padahal si santrai masih tidak mampu secara materi. Secara nalar, permintaan itu tidak akan bisa dipenuhi. Tapi justru sebaliknya. Malah, kehidupan si santri menjadi berkah berlipat-lipat. Ini banyak dialami santri-santri Kiai Zubair.
Kedekatan dan kasih sayang Kiai Zubair terhadap santri memang luar biasa. Hal ini sangat dirasakan oleh santri-santrinya, baik yang masih belajar maupun yang sudah menjadi alumni. Hubungan batin Kiai Zubair dengan santri-santrinya ini terus terjalin, kendati si santri telah merantau ke negeri seberang. Terkadang, saking dekatnya, Kiai Zubair sering mendapat firasat tentang keadaan mereka.
“Saya senantiasa memperhatikan mereka semua, walaupun mereka telah selesai nyantri. Semua itu saya lakukan karena saya ingin santri-santri saya menjadi manusia yang baik. Tidak harus menjadi ulama atau ustadz semua. Jika menjadi pedagang, jadilah pedangan yang baik. Tidak menipu orang. Jika menjadi tukang becak pun, jadilah tukang becak yang baik. Kalau waktu shalat, ya shalat. Pokoknya saya berharap semua santri saya bertaqwa kepada Allah SWT,” kata Kiai Zubair.
Sejarah Pondok Pesantren Nurul Cholil
Alkisah, jauh sebelum berdirinya Pondok Pesantren Nurul Cholil, seorang keturunan Syaikhona Kholil Bangkalan yakni KH. Imron Kholil pernah melihat ada sinar diatas pekarangan rumah KH. Muntashor Bin Muhammad sholeh - yang notabene adalah menantunya sendiri. Pengalaman itu oleh KH. Imron Kholil lalu disampaikan kepada santrinya, bahwa di lokasi itu nantinya akan berdiri sebuah pesantren besar. Dan salah satu dari keturunannya akan menjadi pengasuhnya. Di atas tanah yang ditunjuk oleh Kyai Imron Kholil tersebut itulah, sekarang berdiri Pondok Pesantren Nurul Cholil. Nama Pondok Pesantren Nurul Cholil sudah tidak asing lagi di Bangkalan. KH. Zubair Bin KH. Muntashor sebagai pengasuh pondok pesantren ini, sekaligus pula menjadi tokoh yang paling disegani di Bangkalan. Pondok Pesantren Nurul Cholil didirikan pada tahun 1957 oleh KH. Muntashor. Pada awalnya, Pondok Pesantren Nurul Cholil hanyalah berupa sebuah musholla kecil berukuran 4x4m2, yang lalu diperluas menjadi 8x12 m2. Bangunan ini lalu dipecah menjadi empat bilik, yang tentu saja kecil-kecil. Saking kecilnya tempat tersebut oleh Ibu Nyai Nadzifah Binti KH. Imron Kholil disebut "Cangkruk" -tempat kecil untuk beristirahat dan berfikir.
Dimulai dengan seorang santri mukim pertama yang bernama syafi'i, Pondok Pesanten Nurul Cholil terus mendapatkan kepercayaan masyarakat. Puluhan bahkan ratusan orang tua menitipkan anaknya untuk dididik di Pondok Pesanten Nurul Cholil. Agar istilah cangkruk tidak dibicarakan orang lagi, saat itu orang sering menyebut Pondok Pesanten Nurul Cholil dengan sebutan Pondok Barat (Pondhuk jubara': Madura). Santri terus bertamabah sampai bilik-bilikpun terus ditambah sampai mencapai 23 bilik.
Pada saat-saat seperti itulah, lalu tiba-tiba semua santri dikejutkan dengan wafatnya Pendiri sekaligus pengasuh pertama Pondok Pesanten Nurul Cholil yakni KH. Muntashor Muhammad. Meskipun berurai air mata duka, seluruh insan pesantren sadar bahwa perjuangan dakwah melalui pesantren harus terus dilanjutakan. Maka pada tahun kejadian tersebut, tahun 1977 kepemimpinan Pondok Pesantren dipangku oleh putra tunggal KH. Muntashor Muhammad yakni KH. Zubair Muntashor dan sampai kini masih tetap memangku pondok pesantren tersebut.
Dibawah kepemimpinan KH. Zubair Muntashor Pondok Pesanten Nurul Cholil terus berbenah. Dengan tetap berpegang pada model salaf yang berciri khas pada pengkajian intensif kitab kuning (klasik), sistem belajar yang dibagi menjadi dua yakni model bagongan (Klasikal) dan sorongan (privat) dengan gaya monologis, dan juga mulai diterapkan gaya dialogis.
Gaya monologis dipandu ole Pengasuh dan Ustadz senior, sedangkan gaya dialogis dipandu oleh para Ustadz dengan kelompok yang lebih terbatas disesuaikan dengan tingkat kemampuan santri. Dengan cara demikian maka diharapakan para sanri bisa membaca dan memahami kitan kuning baik secara tekstual maupun kontekstua. Lebih jauh, karena nantinya akan terjun ke masyarakat, hasil pemahamannya bisa diaktualisasikan di tengah masyarakat.
Namun setingkat ini, Pondok Pesantren Nurul Cholil masih sebatas menampung santri putra. Baru pada tahun 1986 Pondok Pesantren Nurul Cholil mulai mendirikan Pesantren Putri secara khusus. Hal ini sesuai dengan pandangan pengasuh tetntang penting pendidikan agama untuk kaum wanita. Hal demikian juga sejalan dengan antusiasme masyarakat, yang mulai sadar betapa pentingnya ilmu agama. Tidak hanya untuk kaum laki-laki, tetapi juga kaum wanita.
Tahun 1987, adalah tahun penting bagi perjalanan Pondok Pesantren Nurul Cholil selanjutnya. Betapa tidak, sejak tahun itu mulai diterapkan struktur kepengurusan Pondok Pesantren sesuai manajemen organisasi modern. Mengingat jumlah santri yang terus bertambah pemebenahan demi pembenahan terus dulakukan. Sarana dan prasarana terus bertamabah , unit demi unit pun bermunculan satu demi satu. Bilik-bilik kecil dimasa lalau sudah banyak berganti dengan gedung-gedung tinggi berlantai tiga atau empat.
Sejak tahun 1998 sampai sekarang, berturut-turut unit organisasi dibawah Pondok Pesantren Nurul Cholil masing-masing memantapkan eksistensnya. Dimulai dengan unti pendidikan formal yang bernama Madrasah Asrorul Cholil, yang menampung siswa-siswa Tsanawiyah sampai Aliyah seolah semaikn memperkaya Pondok Pesantren Nurul Cholil yang sejak dulu sudah eksis dengan Madrasah Diniyahnya.
Di kala begitu banyak orang menyebut diri seorang pendidik dan pembela hak-hak anak, termasuk hak pendidikan, seorang kiai justru berkarya dalam diam. Ia memberikan kepada santri-santrinya tidak hanya ilmu, waktu, dan tenaga, melainkan juga cinta yang begitu besar.
Di kala begitu banyak orang yang mengaku dirinya pejuang hak-hak anak, mendiskusikan, membicarakan, dan melakukan pelatihan tentang hak anak, sang kiai telah memberikan pemenuhan semua hak tersebut kepada santri-santrinya.
Di kala begitu banyak orang yang mengaku diri pejuang pendidikan anak, berlomba-lomba mengejar begitu banyak penghargaan, melalui tulisan, melalui kata-kata, sang kiai dengan rendah hati menyatakan dirinya hanya seorang hamba Allah yang tidak mempunyai kelebihan dan bukan dia yang pintar tetapi yang pintar adalah santri-santrinya.
Bagi seorang pengasuh santri, penghargaan yang sebenarnya adalah keberhasilan anak-anak didiknya. Bahkan cintanya tidak hanya kepada santri yang masih jadi anak asuhnya, melainkan juga alumninya. Inilah yang terekam saat alKisah berjumpa kiai khos Madura yang mempunyai ribuan santri dan ratusan alumnus, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Cholil, Demangan Barat, Bangkalan, K.H. Zubair Muntashor.
Dulu Agak Mbeling
Kiai Zubair adalah putra pasangan K.H. Muntashor, pendiri Pesantren Nurul Kholil, dan Nyai Nazhifah binti K.H. Imron bin K.H. Muhammad Cholil – yang lebih akrab dengan panggilan Kiai Cholil Bangkalan atau Syaichona Cholil Bangkalan. Jadi, Kiai Zubair adalah cicit Syaichona Cholil.
Menurut cerita salah seorang santrinya, dulu Ibu Nyai Nazhifah lama tidak mempunyai keturunan. Maka, suatu ketika, Kiai Muntashor bermunajat di Makkah. Ketika itulah, Kiai Muntashor mendapat sebutir gabah, yang kemudian diberikan kepada Ibu Nyai.
Alhamdulillah, tak berapa lama, munajat Kiai Muntashor diijabah Allah. Ibu Nyai mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Anak itu pun diberi nama Zubair.
Zubair kecil diasuh dan dididik langsung oleh ayahnya, yang juga salah seorang kiai terpandang di kawasan Bangkalan, dalam lingkungan keagamaan yang kuat. Hingga saat berusia belasan, ia dikirim untuk belajar di Pondok Pesantren Sidogiri.
Di pesantren tua ini, ia menghabiskan masa belajar selama tujuh tahun. “Saya mondok selama tujuh tahun. Tapi dulu saya agak mbeling, nakal,” kata Kiai Zubair suatu ketika. Semangat belajarnya saat itu memang tidak menggebu-gebu.
Namun ketika ayahandanya wafat, Kiai Zubair tersentak, dan menyadari bahwa dialah generasi penerus satu-satu ayahnya, karena ia anak semata wayang, yang harus melanjutkan estafet dakwah sang ayah, yang juga harus mengasuh ratusan santri di pesantren peninggalan ayahnya, Pondok Pesantren Nurul Cholil.
Ia bingung, karena belum siap, terutama dari sisi ilmu. Maka, dengan semangat membara, yang dilandasi keikhlasan karena Allah, ia pun berusaha keras belajar dengan cara sorogan kepada beberapa kiai di Madura.
“Saya berusaha dengan ikhlas untuk belajar. Saya tidak ingin pondok peninggalan ayah mati begitu saja,” katanya.
Menurut salah seorang santrinya, setelah sang ayah wafat sekitar tahun 1978, ia berusaha keras untuk belajar mendalami ilmu agama. Namun, di samping usaha yang keras itu, ia juga mendapat anugerah berupa ilmu laduni. Karena itu, tak mengherankan bila di usia yang terhitung muda, sekitar 30 tahun, Kiai Zubair sudah bisa merangkul jama’ah majelis ta’lim peninggalan ayahnya, yang di antara mereka ada kiai sepuh dan ustadz.
Sementara Pesantren Nurul Kholil dalam asuhannya pun berkembang sangat pesat. Tidak saja dari segi infrastruktur pesantren dan jumlah santri, tapi juga kualitas keilmuan santrinya, yang tak kalah dibanding dengan pesantren lainnya.
“Alhamdulillah bisa berjalan lancar, berkat doa mbah-mbah saya dan pertolongan Allah Ta’ala,” kata Kiai Zubair saat ditanya mengenai keberhasilannya dalam mengelola pesantren. Perhatiannya terhadap santri juga sangat besar. Walau para pengurus dan guru telah senantiasa mengontrol santri-santri, Kiai Zubair secara rutin berkeliling melihat keadaan ribuan santrinya itu secara langsung.
Delapan Jam Madura-Jakarta
Banyak kisah unik mengenai dirinya dengan santri-santrinya. Pernah suatu ketika, tahun 1998, salah seorang santrinya diperintahkan untuk ke Jakarta, tepatnya ke Kramat Sentiong, Jakarta Pusat, menggunakan mobil carry, dalam waktu 10 jam. Si santri tentu heran. Mana mungkin Madura-Jakarta ditempuh dalam waktu 10 jam?
Tetapi Kiai Zubair memaksa, bahkan memarahi si santri. Maka, dengan membaca bimillah, akhirnya si santri berangkat juga. Ajaib, waktu yang ditempuh hanya delapan jam.
Setelah kembali ke Madura, si santri diberi tahu oleh kakak sepupu Kiai Zubair, (almarhum) K.H. Abdullah Schall. “Jangan heran, itu adalah ilmu orangtua Kiai Zubair yang diberikan kepada Kiai Zubair,” katanya. Dalam menguji santrinya, Kiai Zubair juga terkenal unik. Ia sering meminta sesuatu kepada santrinya padahal si santrai masih tidak mampu secara materi. Secara nalar, permintaan itu tidak akan bisa dipenuhi. Tapi justru sebaliknya. Malah, kehidupan si santri menjadi berkah berlipat-lipat. Ini banyak dialami santri-santri Kiai Zubair.
Kedekatan dan kasih sayang Kiai Zubair terhadap santri memang luar biasa. Hal ini sangat dirasakan oleh santri-santrinya, baik yang masih belajar maupun yang sudah menjadi alumni. Hubungan batin Kiai Zubair dengan santri-santrinya ini terus terjalin, kendati si santri telah merantau ke negeri seberang. Terkadang, saking dekatnya, Kiai Zubair sering mendapat firasat tentang keadaan mereka.
“Saya senantiasa memperhatikan mereka semua, walaupun mereka telah selesai nyantri. Semua itu saya lakukan karena saya ingin santri-santri saya menjadi manusia yang baik. Tidak harus menjadi ulama atau ustadz semua. Jika menjadi pedagang, jadilah pedangan yang baik. Tidak menipu orang. Jika menjadi tukang becak pun, jadilah tukang becak yang baik. Kalau waktu shalat, ya shalat. Pokoknya saya berharap semua santri saya bertaqwa kepada Allah SWT,” kata Kiai Zubair.
Sejarah Pondok Pesantren Nurul Cholil
Alkisah, jauh sebelum berdirinya Pondok Pesantren Nurul Cholil, seorang keturunan Syaikhona Kholil Bangkalan yakni KH. Imron Kholil pernah melihat ada sinar diatas pekarangan rumah KH. Muntashor Bin Muhammad sholeh - yang notabene adalah menantunya sendiri. Pengalaman itu oleh KH. Imron Kholil lalu disampaikan kepada santrinya, bahwa di lokasi itu nantinya akan berdiri sebuah pesantren besar. Dan salah satu dari keturunannya akan menjadi pengasuhnya. Di atas tanah yang ditunjuk oleh Kyai Imron Kholil tersebut itulah, sekarang berdiri Pondok Pesantren Nurul Cholil. Nama Pondok Pesantren Nurul Cholil sudah tidak asing lagi di Bangkalan. KH. Zubair Bin KH. Muntashor sebagai pengasuh pondok pesantren ini, sekaligus pula menjadi tokoh yang paling disegani di Bangkalan. Pondok Pesantren Nurul Cholil didirikan pada tahun 1957 oleh KH. Muntashor. Pada awalnya, Pondok Pesantren Nurul Cholil hanyalah berupa sebuah musholla kecil berukuran 4x4m2, yang lalu diperluas menjadi 8x12 m2. Bangunan ini lalu dipecah menjadi empat bilik, yang tentu saja kecil-kecil. Saking kecilnya tempat tersebut oleh Ibu Nyai Nadzifah Binti KH. Imron Kholil disebut "Cangkruk" -tempat kecil untuk beristirahat dan berfikir.
Dimulai dengan seorang santri mukim pertama yang bernama syafi'i, Pondok Pesanten Nurul Cholil terus mendapatkan kepercayaan masyarakat. Puluhan bahkan ratusan orang tua menitipkan anaknya untuk dididik di Pondok Pesanten Nurul Cholil. Agar istilah cangkruk tidak dibicarakan orang lagi, saat itu orang sering menyebut Pondok Pesanten Nurul Cholil dengan sebutan Pondok Barat (Pondhuk jubara': Madura). Santri terus bertamabah sampai bilik-bilikpun terus ditambah sampai mencapai 23 bilik.
Pada saat-saat seperti itulah, lalu tiba-tiba semua santri dikejutkan dengan wafatnya Pendiri sekaligus pengasuh pertama Pondok Pesanten Nurul Cholil yakni KH. Muntashor Muhammad. Meskipun berurai air mata duka, seluruh insan pesantren sadar bahwa perjuangan dakwah melalui pesantren harus terus dilanjutakan. Maka pada tahun kejadian tersebut, tahun 1977 kepemimpinan Pondok Pesantren dipangku oleh putra tunggal KH. Muntashor Muhammad yakni KH. Zubair Muntashor dan sampai kini masih tetap memangku pondok pesantren tersebut.
Dibawah kepemimpinan KH. Zubair Muntashor Pondok Pesanten Nurul Cholil terus berbenah. Dengan tetap berpegang pada model salaf yang berciri khas pada pengkajian intensif kitab kuning (klasik), sistem belajar yang dibagi menjadi dua yakni model bagongan (Klasikal) dan sorongan (privat) dengan gaya monologis, dan juga mulai diterapkan gaya dialogis.
Gaya monologis dipandu ole Pengasuh dan Ustadz senior, sedangkan gaya dialogis dipandu oleh para Ustadz dengan kelompok yang lebih terbatas disesuaikan dengan tingkat kemampuan santri. Dengan cara demikian maka diharapakan para sanri bisa membaca dan memahami kitan kuning baik secara tekstual maupun kontekstua. Lebih jauh, karena nantinya akan terjun ke masyarakat, hasil pemahamannya bisa diaktualisasikan di tengah masyarakat.
Namun setingkat ini, Pondok Pesantren Nurul Cholil masih sebatas menampung santri putra. Baru pada tahun 1986 Pondok Pesantren Nurul Cholil mulai mendirikan Pesantren Putri secara khusus. Hal ini sesuai dengan pandangan pengasuh tetntang penting pendidikan agama untuk kaum wanita. Hal demikian juga sejalan dengan antusiasme masyarakat, yang mulai sadar betapa pentingnya ilmu agama. Tidak hanya untuk kaum laki-laki, tetapi juga kaum wanita.
Tahun 1987, adalah tahun penting bagi perjalanan Pondok Pesantren Nurul Cholil selanjutnya. Betapa tidak, sejak tahun itu mulai diterapkan struktur kepengurusan Pondok Pesantren sesuai manajemen organisasi modern. Mengingat jumlah santri yang terus bertambah pemebenahan demi pembenahan terus dulakukan. Sarana dan prasarana terus bertamabah , unit demi unit pun bermunculan satu demi satu. Bilik-bilik kecil dimasa lalau sudah banyak berganti dengan gedung-gedung tinggi berlantai tiga atau empat.
Sejak tahun 1998 sampai sekarang, berturut-turut unit organisasi dibawah Pondok Pesantren Nurul Cholil masing-masing memantapkan eksistensnya. Dimulai dengan unti pendidikan formal yang bernama Madrasah Asrorul Cholil, yang menampung siswa-siswa Tsanawiyah sampai Aliyah seolah semaikn memperkaya Pondok Pesantren Nurul Cholil yang sejak dulu sudah eksis dengan Madrasah Diniyahnya.
Sumber : http://nurulcholil.net/article-sejarah-pondok-pesantren-nurul-cholil.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar